Selasa, 10 Desember 2013

8:08 AM -

Pendekar Sujiwo Caksono

Pukulan demi pukulan menghantam ke dadanya, tendangan kuat itu hampir membuatnya tumbang, senyumannya tetap saja terpampang dimukanya meski terbujur jatuh kelantai berkali-kali, aku mengaguminya karena meski dalam keadaan sulitpun dia masih tetap tersenyum. Aku menduga dalam hatinya tersimpan amarah yang dalam, karena dia tersungkur oleh tendangan keras dari pesaingnya itu, tapi bagaimana bisa senyum khasnya masih terpajang dimuka manisnya itu.
Masih dalam suasana pertarungan dilatar yang cukup riuh diantara rimbunnya pepohonan itu, pertarungan itu memperebutkan hadiah dari sang raja, sang pendekar yang memenangkan pertarungan ini akan diangkat menjadi bangsawan kerajaan Klopoijo, sebuah kerajaan yang menggantungkan hasilnya dari perkebunan. Bermacam-macam tanaman buah  tumbuh subur dan dikelola dengan baik  oleh rakyat, tak heran jika didepan meja raja dan tamu kehormatan dari kerajaan lain yang diundang tersaji bermacam macam buah yang segar, hasil perikan kebun sendiri. 
Sang raja sangat bersemangat menikmati pertarungan ini, dia sepertinya mempunyai jagonya sendiri, dia adalah sang juara bertahan yang tengah bertarung melawan pendekar senyum. Dia semakin tegang ketika jagoannya itu tertendang mental, hingga beberapa jauhnya terkena tendangan tungkai dari pendekar senyum, mereka saling serang bergantian hingga sulit untuk menduganya, mereka sama-sama kuat, hanya tekad dan semangat juanglah yang akan membedakan hasilnya nanti.
Aku disini hanyalah seorang rakyat jelata yang tengah menyaksikan pertarungan ini dari keriuhan gerombolan rakyat jelata dibarisan penonton ekonomi rendah, memang pertarungan ini disajikan untuk semua kalangan oleh raja yang bijak, setiap lapisan masyarakat boleh menyaksikan dan berpartisipasi dalam pertarungan ini, bangsawan, rakyat, ataupun pendekar, mereka bisa mengikuti sayembara ini dengan satu syarat, keberanian.
Pertarungan masih berlangsung sangat ketat, tapi perhatianku tertuju pada tempat yang lain. Sebuah cahaya terang mnyilaukan itu datang diantara kumpulan rakyat jelata. Dia terlihat antusias dan seolah tidak menggubris kicauan riuh dari penonton menyemangati para petarung. Dia sepertinya aku kenal, dia seorang putri dari kerajaan Alasayu seberang kerajaan ini. Tak seorangpun dari mereka yang menyadarinya, dia bertudungkan kain yang menutupi sebagian wajahnya, dan didampingi oleh abdi dan pengawalnya yang berpakaian layaknya rakyat jelata. Dia menyamarkan rupanya dengan mengenakkan kain seadanya layaknya rakyat jelata, dia seprti hanyut terbawa dalam suasana meriahnya pertarungan itu. Dia adalah Putri Sekar Anindya, putri bungsu dari raja Barata dari kerajaan Alasayu. Sebuah kerajaan besar dengan ribuan sungai, aku pernah menjejakkan kaki dikerajaan itu saat itu aku dikirim oleh pangeran Durata untuk mengirimkan bingkisan dari kerajaan Klopoijo sebagai tanda perdamaian.
Aku bisa melihat cahaya itu muncul dari senyumannya tanda kesucian dan kelembutan pesonanya, dalam kumpulan rakyat yang kusam itu aku seperti tampak bunga yang indah bersinar. Lekukan dari pipinya terlihat jelas saat tersenyum, kulitnya putih halus dan licin mungkin jika semut ingin menggigitnya pasti dia terpleset karena kelembutan kulitnya. 
Aku tersadar, dan masih tak bisa berfikir, bagaimana bisa seorang putri jauh-jauh pergi ke negeri ini hanya untuk melihat sebuah pertarungan yang tidak terlalu penting bagi negaranya itu. Namun aku masih menduga-duga dalam hatiku "pasti ada udang dibalik batu, tak mungkin dia kesini tanpa ada tujuan tertentu" tiba-tiba seseorang memukul pundakku mengagetkan lamunanku . . . . . "Hei... Jiwo!!" suaranya lantang dari belakang memanggilku...
bersambung . . . . ..