Senin, 17 Agustus 2015

1:00 AM - ,

Mencoba Rokok Kacangan


 
Jalanan berdebu
****
Jalanan berdebu itu menghiasi halaman rumah kami, sebuah warung kecil yang menjual beraneka macam kebutuhan rumah tangga. Tampak lalu lalang Truk truk hijau besar membawa kernel melewati jalanan merah itu, sesak dan berdebu namun aku kagum dengan kegagahannya “wah nanti kalau sudah besar aku ingin jadi sopir Truk Fuso itu” Dalam hatiku berjanji yakin.
Aku bermain asyik dengan kawanku, memainkan truk truk mainan kami. Balok kayu potongan itu kami rangkai membentuk truk dengan kepala dan bak, dengan tenaga tali yang terkait di paku tepat didepan truk. Meski tanpa roda, truk kami mampu memuat pasir dan tanah, kami bersandiwara laksana kontraktor yang tengah membangun jalanan berdebu, ada eksavator yang mengisi tanah diatas truk kami, Eksavator raksasa berupa cangkul dengan gagang kayu belian yang kokoh itu begitu berat untuk anak seusia kami. “Duh, capeknya, Istirahat dulu ah” keluh kawanku, tampak keringat mengalir dari tubuhnya yang kuning bersih khas anak melayu. Dan kami pun beristirahat sejenak sembari melihat pemandangan lapangan di seberang jalan yang penuh dengan bunga bunga ilalang yang berterbangan tertiup angin.
***
Dari kejauhan tampak sepeda motor tua datang dari arah sekolah tepat disebelah utara toko kami, motor merah tua itu tampak begitu mewah kala itu, dengan suara khasnya perlahan menghampiri toko kami. Orang tua dengan bibir merah, dan berbadan rendah tampak percaya diri menghampiri tempat duduk didepan toko, sembari mengunyah sirih, tampak giginya kuning dan bibir yang merah pucat, kebiasaan orang kampung asli. “perlahan membuka sebungkus rokok kretek, sembari merogoh kocek mencari api untuk membakar benda itu. Sebatang rokok dia pegang dengan tangan kirinya lalu membuang bungkus rokok sisa itu, tampaknya itu rokok terakhir yang ia punyai, kemudian perlahan membuka korek apii bergambar kucing dan mengambil sebatang kayunya, kemudian menggesek dengan cepat kebingkai tepinya. “Wusss’ suara api membakar batangnya kemudian perlahan menempelkannya diujung rokok,  Asap putih mengepul layaknya kebakaran, perlahan dihisapnya cerutu itu, sambil berujar. “Eheey, Nikmatnye...” kami dari kejauhan tampak antusias melihat datuk itu lalu, kawanku menggoyang badanku, “Itu rokok, ambil bungkusnya..!’  seraya memerintah. “Ah, Cuma bungkus saja, buat apa?’ aku menolak dengan halus. “Oi jang, kau dengar dak, kate bapakku bende nyan disamping bungkus rokok “sabar subur” nyan mun ade nomernya bisa dapat hadiah”. Tanpa pikir panjang, rasa penasaranku memuncak kemudian berlari mengambil bungkus rokok merk Sabar subur itu, kemudian memberikannya kepada sahabatku.
Dengan cekatan ia merobek plastik pembungkus rokok itu kemudian membuka sampul di ujung kanan dan kirinya, mataku tak berkedip sedikitpun menatap bungkusan itu, dan rasa penasaranku pun terjawab sudah, “ah, tak ada apa apanya pun..” kataku kecewa. “Ah, kita belum beruntung jang, besok kita cari lagi bungkus rokok seperti ini” katanya dengan yakin. Kami kemudian menatap datuk yang tengah menghisap tembakau itu, dalam hati kami bertanya tanya, “apa nikmatnya sih, makan asap seperti itu?”. Aku merenung membayangkan Pak Dhe ku dulu ketika masih berada di pulau jawa, ia menghiburku dengan asap rokok,  ia bisa membuat asap rokok bulat bulat terbang, aku terkesima. Seraya ingin meniru gaya mereka, akupun membujuk kawanku untuk mencoba nya. “Fen, kita coba itu yok..” Aku membujuknya, Efendi namanya  kawan mainku. “Ah, mana punya kita rokok macam itu jang, lagi pula kita akan kena marah nanti” jawabnya pesimis. Aku tersenyum kemudian menunjuk kepada tanaman kacang kacangan liar dibelakang warung, “kita coba itu.., biar aku ambil korek apinya diwarung, kau ambil batang kacangan kering itu”. Aku berlari menuju warung kemudian menyisir seisi warung dengan cepat, tampak sekotak korek api diatas dipan, perlahan sambil sembunyi sembunyi tanganku menguntit bungkusan itu kemudian secepat kilat berlari kebelakang warung. Tampak sahabatku telah siap sambil bergaya layaknya perokok profesional dengan sebatang kacang kacangan kering dimulutnya. “Macam ini baru betul, belagak sikitlah kite, cepat bawa sini korek apinya” ia tak sabar  ingin menikmati sebatang rokok kacangan kering. “Tunggu dulu, aku juga mau lah, sama samalah kita” aku menahannya, sambil mengambil sebatang kacangan kering.
Sebatang kacangan kering sudah siap kami nikmati, kami memulai mencoba coba layaknya perokok profesional, hisap buang, hisap buang,  kami perlahan mencobanya tanpa api terlebih dahulu. Setelah siap, kami mulai menghidupkan rokok kami, tampak bara merah menyala didepan mata kami. “ha ha ha” kami tertawa senang, namun perlahan rasanya semakin panas, seolah api merasuk kedalam lidah, membakar mulut. “ huek huek, Ahhh panas” sambil membuang ludah. “Sangit.. Huekk gak enak” Keluh Fendi sambil bermuka manyun.
“ Ah, ternyate tak enak rokok itu, rasanye macam makan asap” Ungkap efendi. “Yee.. memang asap yang dihisap itu, ya rasanye macam asap tu, macam kite bakar bakar daun tu bah” jawabku meyakinkannya. “Hemm, macam mana bah orang itu nikmat makan asap” katanya heran. “Itulah orang tua” timpalku. Sejak saat itu, kami tak tertarik lagi dengan rokok, sebatang rokok kacang kacangan kering itu sudah cukup membakar lidahku, rasanya sangit sungguh membuat seisi mulut menjadi tidak enak. Hingga kini, rokok menjadi musuh nyata yang harus diperangi..
Asapmu membuat orang berbahagia
Baumu banyak menghidupi orang banyak.,
Tapi senyummu begitu menipu.,
Senang mu itu dusta.,
Bahagiamu itu palsu .,
Perlahan lahan menusuk nusuk paru paru.,
Diam diam menghujam hati.,
Membantai darah.,
Aku benci..! aku benci..!
Ingin kulemparkan kejurang yang dalam, dan tak pernah kembali.,
Ingin kuinjak injak dengan sepatu usangku ini, hingga terkubur dalam dalam diperut bumi,
Wahai saudara saudaraku, engkau yang telah tertipu olehnya.,
Belum terlambat untuk berhenti..!
Sebelum engkau benar benar mati..!